Senin, 05 Juni 2017

surat ke 3



Dear gadis 10

L
alu apa ? apa sebab aku bertanya seperti ini, aku pun tidak mengerti logika hati. Dia selalu menderu-deru tanpa henti, mengobrak abrik segala apa yang ada didalam kepala hancur tanpa bentuk. Aku tidak mau sebenarnya ini terjadi tetapi hati memang benar harus dilogikan. Minimal memliki landasan pemikiran yang revolusioner progressip. Organ hati sesungguhnya hanya memiliki fungsi untuk menyaring darah dari berbagai racun yang masuk kedalam tubuh. Tapi yang aku bicarakan berbeda dari organ hati. Ini menyangkut soal rasa dan perasaan. Yang mungkin sebagian orang sukses mengolah hati dan otak menjadi satu jalan. Aku tidak, dia melesat bagaikan anak panah arjuna melesat ketika perang bharatayudha. Dia masuk menembus segala sesuatu yang ada didalam kepala memuncratkan darah, cairan putih susu kental dari cocokan mata panah.
Aku sejujur. Tidak mau membuat kisah  seromantis juragan musa dan nyonya juragan musa (sekali peristiwa di banten selatan : P. A. T). tapi niat mencurah dalam hati keluar melalui gerakan jari di atas papan keyboar kecil. Aku bingung memang harus berbuat apa. Tapi pada dasarnya ini adalah landasan perjuangan yang harus dan benar-benar di perjuangkan. Hati ini memang tidak memilki bentuk tapi terasa hingga kedalam tulang yang memproduksi sumsum.
Semoga kamu membacanya, ini kutujukan untuk salah seorang gadis yang membuat aku kepalang tanggung untuk melangkah. Dia membuat langkah kaki seperti di skak mat dalam permainan catur yang harus menahan malu menderita, mati segan hidup dalam tawanan hati. Semoga sedikit curahan hati ini menjadi pengobat untuk sang perindu yang akan melangkah maju. Semoga tuhan menyertai. Aamiin…




Jakarta, dalam keadan genting 2017

Selasa, 16 Mei 2017

Sejarah Banjir Jakarta



SISTEM PENANGANAN BANJI di JAKARTA
oleh: Febry Romadhoni
 
  1. Latar Belakang
Seperti tahun-tahun yang sudah, awal tahun 2014 Jakarta kembali “digenangi” air. Di berapa titik air menggenang hingga 2 sampai 3 meter, hingga Kamis 23 Januari 2014. 34 Kecamatan terkena banjir, 12 orang sudah menjadi korban tewas, 62.819 orang mengungsi di 253 lokasi dan 38.672 keluarga/134.662 orang terdampak banjir di Jakarta[1]. Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia dalam sejarah perkembangannya mengalami banyak perubahan di banyak bidang dan aspek, salah satunya Jakarta pernah beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan bahkan berganti nama. Melihat letaknya yang berada di pesisir utara pulau jawa dimana daerah tersebut juga merupakan salah satu jalur perdagangan[2]. Jakarta dianggap strategis dan dijadikan pelabuhan dagang oleh penguasa pertama daerah Jakarta yaitu Kerajaan Hindu Sunda yang Pada waktu itu bernama Kalapa[3]. Meskipun sumber lain juga mengatakan bahwa wilayah yang kita kenal sebagai Jakarta saat ini dahulu pernah dihuni oleh kerajaan besar lain yaitu kerajaan Tarumanegara[4].
Kalau dilihat dari ilmu geologi dataran Jakarta, adalah dataran Alluvial. Dataran Alluvial daerah Jakarta dan sekitarnya terjadi karena pengendapan lumpur dari pegunungan yang di bawa oleh sungai-sungai, seperti sungai Cisadane, Ciliwung, dan Kali Bekasi. Endapan puing berbentuk kipas terdiri dari bahan-bahan vulkanis tersebut berasal dari gunung-gunung berapi, seperti Gunung Pangrango, Gunung Gede, Gunung Salak. Endapan puing tersebut memancar seperi kipas kearah Utara sehingga terbentuklah penyaluran air seperti sungai Cisadane yang mengalir kearah Barat, Kali Bekasi yang mengalir kearah Timur, dan sungai Ciliwung yang mengalir kearah Utara menuju ke Teluk Jakarta. Menurut, H. Th. Verstappen, ahli Geomorfologi, menyatakan bahwa berdasarkan kecepatan pengendapan lumpur-lumpur di tepi pantai sekarang. dataran Teluk Jakarta di perkirakan terjadi 5.000 tahun yang lalu, sedangkan lapisan tanah yang paling atas dari endapan puing berkipas berasal dari zaman  Holocen tua atau sekurang-kurangnya dari pertengahan zaman Holocen.[5]
Masalah banjir di Jakarta memang sudah lama dipermasalahkan diawali dari zaman Kerajaan Tarumanegara. Disalah satu peninggalannya yaitu Prasasti Tugu yang isinya menyatakan bahwa Maharaja Punawarman telah melakukan penggalian sungai yang bernama Candrabhaga (menjadi Sasihbhaga, manjadi Bhagasasih, dan akhirnya menjadi Bekasi) untuk mengalirkan air ke laut setelah sampai di istana kerajaan yang termasyur. Pada tahun 22 naik tahta Raja Punawarman memerintahkan pula melakukan penggalian sungai Gomati (aliran airnya langsung menuju ke laut sekarang Kali Cakung). Kedua sungai tersebut mengaliri istana kerajaan. Penggalian sungai tersebut, terutama sungai Gomati merupakan pekerjaan raksasa dan memerlukan pengerahan tenaga yang banyak. Penggalian itu mungkin merupakan upaya mengatasi banjir pada musim penghujan yang selalu menimpa Ibu Kota kerajaan. Upaya itu tidak terlepas dari peningkatan pertanian di sekitar karajaan agar lahan-lahan pertanian tidak musnah atau rusak akibat di terjang banjir[6].
Ketika di zaman Belanda, banjir masih saja menjadi masalah yang begitu besar terbukti dari pindahnya kota Kota Batavia (sekarang dari kawasan Kota Tua sampai ke Timur daerah Museum Bahari, Menara Syahbandar) ke daerah selatan yaitu Weltevreden (sekarang kawasan sekitaran Monas, Lapanga Banteng). Memang tidak hanya banjir yang menyebabkan kota Batavia pindah, tetapi ada banyak masalah lagi seperti masalah sosial (korupsi, pencurian, imigran dari cina) dan masalah linkungan (meletusnya Gunung Salak, Malaria dan banyak lagi).
Setelah kita sedikit membaca sejarah masalah banjir di Jakarta. Ada baiknya sekarang kita mencari solusi yang tepat. Gonjang ganjing solusi untuk mengatasi masalah banjir yang sekarang menghiasi layar kaca adalah pertemuan para pemimpin daerah se-JABODETABEK yang menghasilkan beberapa point, diantaranya adalah sodetan sungai Ciliwung-Cisadane. Yang menarik adalah salah-satu pemimpin daerah dengan tegas menolok rencana tersebut, ia berargumen bahwa “Daerah yang sekarang dialiri sungai Cisadane saja sudah banjir apa lagi ditambah dengan air sungai Ciliwung bukankah akan menjadi lebih parah.” Menurut saya ini menarik, ketika kita flasback ke tahun 1996. Seorang peneliti dari Jepang menawarkan solusi, yang menurut saya itu adalah penelitian yang paling modern mengenai solusi banjir di Jakarta. Riset Jaika 1996 memang sangat sulit diterapkan hal ini tidak lepas dari masalah biaya yang sangat mahal dan harus diteliti lebih dalam lagi jika ingin di terapkan di kota Jakarta.
Dan kita juga berharap pada para pemimpin negeri yang lebih khusus pada pemimpin Jakarta ini agar lebih serius lagi menangani masalah banjir. Tidak cukup hanya dengan pembangunan fisik tetapi yang paling penting menurut saya adalah pemerataan pembangunan di setiap daerah-daerah. Karena kalau dilihat lagi pembangunan kota Jakarta sudah tidak memperhatikan alam sekitar. Seperti di contohkan menurut penuturan teman kuliah saya yang tinggal di daerah Kapuk, Jakarta Barat  “sewaktu saya masi kecil, ketika pagi hari masi bisa merasakan hembusan angin laut.” Dan ada penuturan lagi dari kakek saya sendiri, “ketika ia masi bertugas di dearah Kampung Melayu dia mengatakan jarak antar sungai dan pemukiman warga itu sekitar 25-30 M.” Tetapi fakta sekarang di kapuk sendiri sudah berdiri pemukiman elit dan parahnya lagi pengembang meninggikan daratan yang akan di bangun dan menutup sebagia daerah rawa mangrup. Teorinya ketika air di bendung, maka air akan mengendap atau diam di tempat. Tidak jauh berbeda denagn dikapuk tetapi hanya berbeda kasus di bantaran sungai ciliwung sekarang pemukiman warga tidak bejarak lagi bahkan ada yang mendirikan tiang bangunan langsung menancap ke sungai. Hal ini membuktikan betapa buruknya penataan Kota Jakarta
Sebagai penutup penulis berharap kepada para pembaca agar menganggap masalah banjir sebagai masalah serius kerena banjir ini masalah kita bersama dan taatilah peraturan yang ada. Seperti peraturan yang sangat kecil “jangan membuang sampah sembarangan” kalau hal kecil seperti itu di lakukan Insyaallah  masalah ini akan selesai. Amien !!!. Dan penulis juga berharap, di Fakultas kita sendiri yang merupakan Fakultas Keguruan. lulusannya terbuka hatinya untuk memberikan nilai-nilai/mengajar di daerah-daerah untuk meningkatkan pola pikir masyarakat. Dan penulis menyadari sepenuhnya, bahwa artikel ini masih menyisakan berbagai kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik yang bersifat membangun dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan yang lebih lanjut.


[1] Harian Kompas edisi 23 januari 2014. Hal 24.
[2] M. C. Ricklefs. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008. Jakarta : Serambi, Hlmn. 37
[3] Adolf Heuken S. J. 1997. Tempat-Tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka, Hlmn. 22
[4] Thomas B. Ataladjar. 2003. Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama Di Tepian Muara Ciliwung: Riwayat dan Kisah Para Penghuninya. Jakarta : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Hlmn. 6
[5] Unit Pengelola Museum Joang 45, edisi ke-3 2011. Hal 2.
[6] Ibid, hlm 5.

Minggu, 14 Mei 2017

rumah garem

Setiap gerakan akan memiliki dasar yang sangat kuat, gerakan akan membawa siempunya gagasan gerakan meyakini sebuah energi yang kaut. Symbol dalam gerakan akan memiliki lambang sendiri. Seperti halnya Negara Indonesia yang memiliki bendera merah putih, dengn lambang garuda. Sama halnya dengan perpustakaan rumah garem. Kali akan merilis secara resmi loga rumah garem beserta penjelasan mengapa dan kenapa logo ini yang dipakai.
Setiap gerakan akan memiliki dasar yang sangat kuat, gerakan akan membawa siempunya gagasan gerakan meyakini sebuah energi yang kaut. Symbol dalam gerakan akan memiliki lambang sendiri. Seperti halnya Negara Indonesia yang memiliki bendera merah putih, dengn lambang garuda. Sama halnya dengan perpustakaan rumah garem. Kali akan merilis secara resmi loga rumah garem beserta penjelasan mengapa dan kenapa logo ini yang dipakai.

Pemilik kali ini akan mengngukap beberapa alasan kenapa menggunakan nama garem sebagai sebuah brand, dalam filososfi ahli masakan indonesai garem  menjadi nyawa dalam setiap masakan, tentu ini akan benar bagi anda yang suka memasak dengan garem masakan menjadi hidup, dengan garem masakan memiliki rasa yang begitu indah dan akan meledak didalam mulut.
Setelah saya pikir panjang untuk kata yang pantas dijadikan brand tersebutlah garem. Karena menurut saya garam dalah jiwa masakan tanpa ada warna garam tidak mempengaruhi warna makanan, tanpa ada bentuk garem tidak akan mengubah bentuk makanan, tanpa ada bau garem tidak akan mengubah bau dari makanan dan tetap menjiwai makanan tanpa mengubah warna, bentuk dan bau.
Seperti filosofi saya merasuki setia jiwa yang kosong tanpa mengubah warna, bentuk, bau dari jiwa tersebut. Jadilah saya menamai perpustakaan saya dengan nama  Rumah Garem. Kenapa saya tidak memakai kata garam, dan saya memilih untuk memakai garem, tentulah ini di dasari dari dielak etnik saya. Dan saya yakin pembaca tentu sudah bisa menebak dari mana saya berasal.
Dalam kajian rutin yang pernah saya ikuti ternyata lingkaran menjadi bentuk yang paling sempurna Karena dia tiak miliki sudut. Bentuk yang diatawarkan lingkaran memiliki harmoni dalam hidup. Kadang dibawah kadang diatas. Dan kadang berada di antara bawah dan atas. Dan dari dasar itu saya menggunakan lingkaran sebagai logo bagi rumah garem.
Didalam lingkaran terdapat buku yang diltekan dibawah rumah. Dalam hal ini saya mengacu pada bahwa buku yang akan menjadi garam buku yang akan menjiwai setiap pembacanya, buku yang menjadi dasar. Serta rumah diatas buku hal ini didasari akan hebatnya buku. Tentu yang akan menjadi pondasi wala rumah garem berdiri.

Aku yang mencintai
Febry fr