SISTEM PENANGANAN BANJI
di JAKARTA
oleh: Febry Romadhoni
- Latar Belakang
Seperti
tahun-tahun yang sudah, awal tahun 2014 Jakarta kembali “digenangi” air. Di berapa
titik air menggenang hingga 2 sampai 3 meter, hingga Kamis 23 Januari 2014. 34
Kecamatan terkena banjir, 12 orang sudah menjadi korban tewas, 62.819 orang
mengungsi di 253 lokasi dan 38.672 keluarga/134.662 orang terdampak banjir di
Jakarta[1].
Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia dalam sejarah perkembangannya
mengalami banyak perubahan di banyak bidang dan aspek, salah satunya Jakarta
pernah beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan bahkan berganti nama.
Melihat letaknya yang berada di pesisir utara pulau jawa dimana daerah tersebut
juga merupakan salah satu jalur perdagangan[2].
Jakarta dianggap strategis dan dijadikan pelabuhan dagang oleh penguasa pertama
daerah Jakarta yaitu Kerajaan Hindu Sunda yang Pada waktu itu bernama Kalapa[3].
Meskipun sumber lain juga mengatakan bahwa wilayah yang kita kenal sebagai
Jakarta saat ini dahulu pernah dihuni oleh kerajaan besar lain yaitu kerajaan Tarumanegara[4].
Kalau
dilihat dari ilmu geologi dataran Jakarta, adalah dataran Alluvial. Dataran
Alluvial daerah Jakarta dan sekitarnya terjadi karena pengendapan lumpur dari
pegunungan yang di bawa oleh sungai-sungai, seperti sungai Cisadane, Ciliwung,
dan Kali Bekasi. Endapan puing berbentuk kipas terdiri dari bahan-bahan
vulkanis tersebut berasal dari gunung-gunung berapi, seperti Gunung Pangrango,
Gunung Gede, Gunung Salak. Endapan puing tersebut memancar seperi kipas kearah
Utara sehingga terbentuklah penyaluran air seperti sungai Cisadane yang
mengalir kearah Barat, Kali Bekasi yang mengalir kearah Timur, dan sungai
Ciliwung yang mengalir kearah Utara menuju ke Teluk Jakarta. Menurut, H. Th.
Verstappen, ahli Geomorfologi, menyatakan bahwa berdasarkan kecepatan
pengendapan lumpur-lumpur di tepi pantai sekarang. dataran Teluk Jakarta di
perkirakan terjadi 5.000 tahun yang lalu, sedangkan lapisan tanah yang paling
atas dari endapan puing berkipas berasal dari zaman Holocen tua atau sekurang-kurangnya dari
pertengahan zaman Holocen.[5]
Masalah
banjir di Jakarta memang sudah lama dipermasalahkan diawali dari zaman Kerajaan
Tarumanegara. Disalah satu peninggalannya yaitu Prasasti Tugu yang isinya
menyatakan bahwa Maharaja Punawarman telah melakukan penggalian sungai yang
bernama Candrabhaga (menjadi Sasihbhaga, manjadi Bhagasasih, dan akhirnya menjadi Bekasi) untuk mengalirkan air ke laut
setelah sampai di istana kerajaan yang termasyur. Pada tahun 22 naik tahta Raja
Punawarman memerintahkan pula melakukan penggalian sungai Gomati (aliran airnya langsung menuju ke laut sekarang Kali Cakung). Kedua sungai tersebut mengaliri istana
kerajaan. Penggalian sungai tersebut, terutama sungai Gomati merupakan pekerjaan raksasa dan memerlukan pengerahan tenaga
yang banyak. Penggalian itu mungkin merupakan upaya mengatasi banjir pada musim
penghujan yang selalu menimpa Ibu Kota kerajaan. Upaya itu tidak terlepas dari
peningkatan pertanian di sekitar karajaan agar lahan-lahan pertanian tidak
musnah atau rusak akibat di terjang banjir[6].
Ketika
di zaman Belanda, banjir masih saja
menjadi masalah yang begitu besar terbukti dari pindahnya kota Kota Batavia (sekarang dari kawasan Kota
Tua sampai ke Timur daerah Museum Bahari, Menara Syahbandar) ke daerah selatan
yaitu Weltevreden (sekarang kawasan
sekitaran Monas, Lapanga Banteng). Memang tidak hanya banjir yang menyebabkan
kota Batavia pindah, tetapi ada
banyak masalah lagi seperti masalah sosial (korupsi, pencurian, imigran dari
cina) dan masalah linkungan (meletusnya Gunung Salak, Malaria dan banyak lagi).
Setelah
kita sedikit membaca sejarah masalah banjir di Jakarta. Ada baiknya sekarang
kita mencari solusi yang tepat. Gonjang ganjing solusi untuk mengatasi masalah
banjir yang sekarang menghiasi layar kaca adalah pertemuan para pemimpin daerah
se-JABODETABEK yang menghasilkan beberapa point, diantaranya adalah sodetan
sungai Ciliwung-Cisadane. Yang menarik adalah salah-satu pemimpin daerah dengan
tegas menolok rencana tersebut, ia berargumen bahwa “Daerah yang sekarang
dialiri sungai Cisadane saja sudah banjir apa lagi ditambah dengan air sungai Ciliwung
bukankah akan menjadi lebih parah.” Menurut saya ini menarik, ketika kita
flasback ke tahun 1996. Seorang peneliti dari Jepang menawarkan solusi, yang
menurut saya itu adalah penelitian yang paling modern mengenai solusi banjir di
Jakarta. Riset Jaika 1996 memang
sangat sulit diterapkan hal ini tidak lepas dari masalah biaya yang sangat
mahal dan harus diteliti lebih dalam lagi jika ingin di terapkan di kota
Jakarta.
Dan
kita juga berharap pada para pemimpin negeri yang lebih khusus pada pemimpin Jakarta
ini agar lebih serius lagi menangani masalah banjir. Tidak cukup hanya dengan
pembangunan fisik tetapi yang paling penting menurut saya adalah pemerataan
pembangunan di setiap daerah-daerah. Karena kalau dilihat lagi pembangunan kota
Jakarta sudah tidak memperhatikan alam sekitar. Seperti di contohkan menurut
penuturan teman kuliah saya yang tinggal di daerah Kapuk, Jakarta Barat “sewaktu saya masi kecil, ketika pagi hari
masi bisa merasakan hembusan angin laut.” Dan ada penuturan lagi dari kakek
saya sendiri, “ketika ia masi bertugas di dearah Kampung Melayu dia mengatakan
jarak antar sungai dan pemukiman warga itu sekitar 25-30 M.” Tetapi fakta
sekarang di kapuk sendiri sudah berdiri pemukiman elit dan parahnya lagi
pengembang meninggikan daratan yang akan di bangun dan menutup sebagia daerah
rawa mangrup. Teorinya ketika air di bendung, maka air akan mengendap atau diam
di tempat. Tidak jauh berbeda denagn dikapuk tetapi hanya berbeda kasus di
bantaran sungai ciliwung sekarang pemukiman warga tidak bejarak lagi bahkan ada
yang mendirikan tiang bangunan langsung menancap ke sungai. Hal ini membuktikan
betapa buruknya penataan Kota Jakarta
Sebagai
penutup penulis berharap kepada para pembaca agar menganggap masalah banjir
sebagai masalah serius kerena banjir ini masalah kita bersama dan taatilah
peraturan yang ada. Seperti peraturan yang sangat kecil “jangan membuang sampah
sembarangan” kalau hal kecil seperti itu di lakukan Insyaallah masalah ini akan
selesai. Amien !!!. Dan penulis juga
berharap, di Fakultas kita sendiri yang merupakan Fakultas Keguruan. lulusannya
terbuka hatinya untuk memberikan nilai-nilai/mengajar di daerah-daerah untuk
meningkatkan pola pikir masyarakat. Dan penulis menyadari sepenuhnya, bahwa
artikel ini masih menyisakan berbagai kekurangan. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik yang bersifat membangun dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan yang lebih lanjut.
[1] Harian Kompas edisi 23
januari 2014. Hal 24.
[2] M. C. Ricklefs. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008. Jakarta : Serambi, Hlmn. 37
[3] Adolf Heuken S. J. 1997. Tempat-Tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta:
Cipta Loka Caraka, Hlmn. 22
[4] Thomas B.
Ataladjar. 2003. Toko Merah Saksi
Kejayaan Batavia Lama Di Tepian Muara Ciliwung: Riwayat dan Kisah Para
Penghuninya. Jakarta : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Hlmn.
6
[5] Unit Pengelola Museum Joang
45, edisi ke-3 2011. Hal 2.
[6] Ibid, hlm 5.