Oleh: Febry
Romadhoni
Kapan pertama kali ajaran Islam masuk ke Nusantara?
Dari mana dan dibawa oleh siapa? Ternyata banyak versi dan teori. Berbagai
teori mengenai kapan dan berasal dari mana masuknya ajaran Islam ke Nusantara
ternyata masih menarik untuk dikulik, terlebih ketika “kajian” tentang
Kesultanan Majapahit dan klaim Gaj Ahmada sebagai nama muslim Gajah Mada
dimunculkan yang lantas memantik kehebohan. Kerajaan (bukan kesultanan atau
istilah untuk menyebut kerajaan Islam) Majapahit yang selama ini dipercaya
menganut agama Hindu dan Buddha berdiri sejak 1293 M atau akhir abad ke-11
dengan pusatnya di Jawa bagian timur (Nicholas Tarling, The Cambridge History
of Southeast Asia, 1999).
Lantas, apakah agama Islam sudah masuk dan berkembang
di Jawa ketika atau bahkan sebelum Majapahit berdiri? Setidaknya ada 5 versi
terkait teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para pembawanya
dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, serta teori
Gujarat (India) dan teori Persia (Iran), hingga teori Maritim.
1. Teori Timur Tengah (Abad 7 M)
Teori Timur Tengah, atau tepatnya dari Arab, merupakan
versi yang cenderung paling banyak diyakini terkait perkiraan masuknya ajaran
Islam ke Nusantara. Beberapa ahli yang mendukung teori ini adalah J.C. van
Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, dan Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya
Hamka. Buya Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari
Gujarat (India) sejak abad ke-13 Masehi. Sanggahan ini dikemukakan oleh tokoh
asal Sumatera Barat itu dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke
Indonesia” di Medan pada 1963 (Yusran Rusydi, Buya Hamka: Pribadi dan Martabat,
2017). Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M atau
tahun-tahun awal Hijriah, dibawa oleh bangsa Arab, khususnya dari Mekkah.
Hamka, seperti dikutip dari A. Shihabuddin (2013:474) dalam Membongkar
Kejumudan: Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahhabi, disebutkan bahwa Gujarat
hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab itu sebelum menuju ke
Nusantara
Salah satu bukti yang diajukan Hamka adalah naskah
kuno dari Cina yang menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan
Pantai Barat Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada
625 M (Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Di Barus, yang pernah dikuasai
Kerajaan Sriwijaya, juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh
Rukunuddin, wafat tahun 672 M. Keyakinan Hamka tersebut dikuatkan oleh teori
yang dikemukakan oleh T.W. Arnold sebelumnya, berdasarkan sumber yang sama
yaitu berita dari Cina. Arnold (1935) dalam The Preaching of Islam menyebut
bahwa ada seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa
Arab di Pantai Barat Sumatera pada 674 M .
Teori datangnya Islam ke Nusantara berasal dari Timur
Tengah, meskipun tidak hanya dari Mekkah, juga pernah dimunculkan. Crawfurd
(1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan P.J. Veth
(1878), meyakini Islam datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan (Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
2004). Yang menjadi landasan atas teori ini adalah bahwa orang-orang Islam di
Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafii, seperti halnya di Indonesia
(Hermansyah & Zulkhairi, Transformasi Syair Jauharat At-Tauhid di
Nusantara, 2014). Selain itu, ada pula yang menyebut Islam datang ke Nusantara
dari Mesir dengan alasan serupa.
2. Teori Gujarat-India (Abad 13 M)
Sebelum Hamka membantah, ada teori lain yang
mempercayai ajaran Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang Gujarat (India) pada
awal abad ke-13 M. Teori ini dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas
dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette,
hingga Sucipto Wirjosuparto. Drewes sebenarnya tidak menyebut bahwa yang
membawa ajaran Islam ke Indonesia adalah para pedagang India, namun oleh kaum
saudagar asal Arab yang terlebih dulu menetap di Gujarat sebelum melanjutkan
rute dagangnya ke Nusantara sekaligus untuk syiar Islam (Nur Syam, Islam
Pesisir, 2005). Teori Drews lalu dikembangkan, terutama oleh Hurgronje yang
menyebut bahwa Islam masuk ke Nusantara seiring terjalinnya relasi niaga antara
kerajaan atau masyarakat lokal dengan pedagang Gujarat dari India Selatan
(Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur, 2001).
Argumen Hurgronje ini didasarkan atas peranan
orang-orang Gujarat yang telah membuka hubungan dagang dengan bangsa lokal
Indonesia sebelum para pedagang dari Timur Tengah atau Arab. Menurutnya, yang
pertamakali dimasuki para saudagar muslim-Gujarat itu adalah wilayah Kesultanan
Samudera Pasai di Aceh. Hurgronje didukung oleh sejumlah pakar lainnya,
termasuk Moquette dan Wirjosuparto, yang memaparkan bukti berupa corak batu
nisan Sultan Malik As-Saleh (Marah Silu) memiliki kemiripan dengan corak nisan
di Gujarat, juga hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama
terjalin (Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 2009). Namun, teori
ini dinilai kurang sahih karena memiliki banyak kelemahan. Selain seperti kata
Hamka, yakni bahwa India hanya menjadi persinggahan para pedagang dari Arab,
Gujarat pada abad ke-12 hingga 13 M masih merupakan wilayah Hindu. Ajaran Islam
yang kemudian masuk ke Gujarat pun berasal dari mazhab Hanafi, bukan mazhab
Syafii yang lebih lekat dengan muslim Nusantara.
3. Teori Cina (9 M)
Pendapat lain terkait masuknya Islam ke Nusantara
adalah teori Cina. Diyakini bahwa Islam memasuki Indonesia bersama migrasi
orang-orang Cina ke Asia Tenggara dan memasuki Palembang pada 879 atau abad 9
M. Slamet Muljana dan Sumanto Al Qurtuby adalah pendukung teori ini (Tsabit
Azinar Ahmad, Sejarah Kontroversial di Indonesia, 2016). Ajaran Islam sendiri
berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima
muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni
Saad bin Abi Waqqash. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut
relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi
pada 713 M.
Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina
dengan Nusantara baru terjadi antara abad 13-15 M (semisal terkait Panglima
Cheng Ho, atau Raden Patah dan beberapa orang Walisongo yang oleh Slamet
Muljana [2005] dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
Islam di Nusantara disebut keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak
jauhnya sudah ada sebelum itu. Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir
Husen dan Hoesein Djajadiningrat. Dikutip dari Reception Through
Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia karya Abdurrahman
Misno (2016).
Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan
kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia (Iran), semisal
seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Contoh
lain adalah tradisi peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya Islam-Persia yang
juga mirip dengan tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara Tabuik atau Tabut
di beberapa wilayah pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud, Dari Haramain ke
Nusantara, 2006). Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina dengan
Nusantara baru terjadi antara abad 13-15 M (semisal terkait Panglima Cheng Ho,
atau Raden Patah dan beberapa orang Walisongo yang oleh Slamet Muljana [2005]
dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara disebut keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak jauhnya sudah
ada sebelum itu.
4. Persia (13 M)
Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir Husen dan
Hoesein Djajadiningrat. Dikutip dari Reception Through Selection-Modification:
Antropologi Hukum Islam di Indonesia karya Abdurrahman Misno (2016),
Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia
memiliki persamaan dengan Persia (Iran), semisal seni kaligrafi yang terpahat
pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Contoh lain adalah tradisi
peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya Islam-Persia yang juga mirip dengan
tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara Tabuik atau Tabut di beberapa
wilayah pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud, Dari Haramain ke Nusantara,
2006). Selain itu, seperti yang dinukil dari Jaih Mubarak (2008) dalam buku
Sejarah Peradaban Islam, ada kesamaan mazhab antara muslim Indonesia dan
sebagian wilayah Persia pada saat itu, yakni menganut mazhab Syafii. Namun,
teori Persia ini juga masih kalah kuat ketimbang teori Arab, dan akhirnya
runtuh.
5. Teori maritim dan lainya
Di samping teori-teori “besar” terkait klaim masuknya
ajaran Islam ke Nusantara, muncul pula sejumlah versi lainnya, termasuk teori
Maritim. Ini mirip dengan salah satu teori masuk dan berkembangnya ajaran
Hindu-Buddha di Indonesia, yakni teori Arus-Balik. Teori Maritim meyakini bahwa
penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang lokal sendiri yang ulung
dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka berlayar ke negeri-negeri yang
jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah menganut Islam,
berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air dengan
membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.
Sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch, mempertegas
argumen itu dengan menyebut bahwa para pelaut dan pedagang asli Nusantara
bersinggungan langsung dengan para saudagar muslim, terutama yang datang dari
Timur Tengah, khususnya Arab. Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur
perniagaan yang disinggahi. Menurut Baloch, ini terjadi pada sekitar abad ke-7
M dan dimulai dari pesisir Aceh dan seterusnya hingga tersebar lebih luas
(Akhmad Jenggis Prabowo, Kebangkitan Islam, 2011). Masih ada pula sekelumit
teori lainnya, seperti dari Mesir atau Turki. Namun argumen dan bukti-bukti
yang dipaparkan tidak cukup kuat sehingga terpatahkan. Atau, teori-teori lain
itu biasanya tetap bermuara pada peran kaum pedagang dari Arab yang diyakini
memiliki andil paling sentral dalam upaya masuknya ajaran Islam ke Indonesia